Minggu, 15 April 2018

Gerakan Perempuan Timur Tengah


Gerakan feminis muslim di dunia Islam, terutama di Timur Tengah atau di dunia Arabia selalu terkait dengan kebangkitan Islam. Hal ini ditandai dengan pertentangan antara intelektual ekstrem kanan dan ekstrem kiri yang melibatkan rezim/pemerintah yang berafiliasi dengan imperium. Fenomena Barat ke Pusat Islam di Timur Tengah pertama-tama dilakukan oleh dua bangsa Eropa, yaitu Inggris dan Perancis, yang keduanya sedang bersaing sebagai imperium. Inggris terlebih dahulu menguasai India. Adapun Perancis, untuk masuk ke India, terlebih dahulu harus menguasai Mesir (tahun 1798 M) sebagai pintu gerbang masuk ke India. Motif lain Perancis menaklukkan Mesir, adalah politik ekonomi terkait dengan pemasaran dan penyediaan bahan-bahan baku dan menjadikan pusat kegiatan pendistribusian hasil industrinya ke Wilayah Timur Tengah, serta keinginan yang kuat ekspedisi Napoleon Bonaparte untuk mengikuti jejak Alexander the Great dari Macedonia yang pernah menguasai Eropa, Asia sampai dengan India.1
Status perempuan di dunia Islam dijadikan subjek studi dan mengundang perdebatan, serta memprofokasi polemik dan prasangka yang hampir tidak dihubungkan dengan kompleksitas realitas. Hal ini setidaknya dapat diketahui atau didiskusikan sebagai diskursus dan memunculkan pergerakan yang disebut dengan feminisme Islam. Pergerakan ini muncul di Amerika, Pakistan, India, Nigeria, Spanyol, Malaysia dan Perancis. Cakupan kerja mereka berkaitan dengan peruabhan sosial secara spesifik berhubungan dengan perjuangan melawan sistem patriakhi dan ketidaksetaraan gender, yang dijadikan sebagai kerangka kerja oleh feminis muslim, tetapi satu bagian menjadi pergerakan global berkaitan dengan hak-hak perempuan. Meskipun demikian, ada konsesus bahwa pendidikan menjadi kunci utama sebagai upaya pemberdayaan perempuan dan kajian tentang hak-hak perempuan merujuk pada sumber utamanya, yaitu teks suci al-Qur`an.2
Kajian pergerakan perempuan di Mesir dimulai tahun 1919 ditandai dengan munculnya aktifitas feminis yang tergabung dengan The Egyptian Feminist Union (EFU) dipimpin oleh Huda Sha’rawi. Fokus perjuangnnya adalah hak-hak politik perempuan, perubahan hukum status perseorangan yang mencakup pengendalian perceraian, poligami, persamaan akses pendidikan baik di tingkat lanjutan maupun perguruan tinggi, dan berbagai pengembangan tentang kesempatan profesional bagi perempuan.3
Awal perjuangan pergerakan perempuan perempuan dalam pengembangan intelektual dan prinsip-prinsip ideologinya hampir diilhami oleh reformer modernis laki-laki seperti Muhammad Abduh, Jamaluddin al-Afghani, dan yang paling luar biasa adalah Qosim Amin yang pada saat tahun 1919 berkaitan dengan perlawanan Inggris dan masa keberlangsungan dan perluasan berbagai aktivitas perempuan. Disamping itu beebrapa kontribusi perempuan dalam publikasi jurnal sebagaimana mainstream pers yang memunculkan debat tentang isu-isu sosial seperti pendidikan, peran perempuan dalam kelaurga, dan hak-hak perempuan.4
Sementara itu periode 1945-1959 muncul organisasi perempuan, yaitu Bint el-Nile (Daughter of the Nile) yang dipimpin oleh Doria Shafik. Pergerakan ini sebagai suatu yang baru dan menyegarkan gerakan feminis, bertujuan untuk memproklamirkan hak-hak politik secara penuh bagi perempuan. Kegiatan ini juga mempromosikan berbagai programnya, berkampanye perbaikan budaya, perbaikan kesehatan dan pelayanan sosial bagi masyarakat miskin, mempertinggi pelayanan ibu, dan perawatan anak (childcare). Proses reformasi sosial ini oleh para feminis seperti Inji Aflatoun, Soraya Adham, dan Latifa Zayyad diadopsinya ideologi sosial dengan memperlihatkan pada perjuangan pembebasan perempuan dan hukum (social equality and justice). Namun demikian, pergerakan perempuan mulai menyusut terjadi pada masa pemerintahan Gamal Abdul Naser (1952-1970) ditandai dengan pengendalian ruang gerak organisasi perempuan. Pergerakan perempuan masa Gamal Abdul Naser diindikasikan hampir semua pergerakan bergantung atau tidak independen sehingga pasang surutnya pemerintahan berimplikasi terhadap gerakan perjuangan perempuan.5 Perkembangan wacana keagamaan dalam kalangan feminis muslim yang menonjol adalah pembangunan keluarga dalam perdebatan untuk membentuk kembali fundamental status muslim pribadi atau hukum keluarga secara egaliter. Dalam kerangka kerja tersebut, berbagai isu penting yang menuntut ijtihad atau melakukan reinterpretasi al-Qur`an dan al-Hadits yang dianggap bias gender.
Isu Islam dan perempuan berkembang pesat juga karena dipengaruhi beberapa sarjana muslim seperti Fatimah Mernissi, Rifaat Hasan, Nawal el Sadawi, Asghar Ali Engineer dan Amina Wadud Muhsin. Respon terhadap wacana perempuan dalam Islam juga tidak seragam mulai dari pemikiran yang bercorak konservatif, moderat hingga liberal.
1 Harun Nasution, Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya Jilid I, Jakarta: UI Press, 1985, hlm. 28.
2 Morgot Badaran, Feminisme in Islam: Seculer and Religious Convergenees, England: Oneworld Publication, 2004, hlm. 4.
3 Najde S. Al-Ali, The Women Movement in Egypt, hlm. 5.
4 Najde S. Al-Ali, The Women Movement in Egypt, hlm. 5.
5 Issa J. Boullata, Dekonstruksi Tradisi Gelegar Pemikiran Arab Islam, Penerj: Imam Khoiri, Yogyakarta: LKIS, 2001, hlm. 174.

0 komentar:

Posting Komentar

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com