Gerakan
feminis muslim di dunia Islam, terutama di Timur Tengah atau di dunia
Arabia selalu terkait dengan kebangkitan Islam. Hal ini ditandai
dengan pertentangan antara intelektual ekstrem kanan dan ekstrem kiri
yang melibatkan rezim/pemerintah yang berafiliasi dengan imperium.
Fenomena Barat ke Pusat Islam di Timur Tengah pertama-tama dilakukan
oleh dua bangsa Eropa, yaitu Inggris dan Perancis, yang keduanya
sedang bersaing sebagai imperium. Inggris terlebih dahulu menguasai
India. Adapun Perancis, untuk masuk ke India, terlebih dahulu harus
menguasai Mesir (tahun 1798 M) sebagai pintu gerbang masuk ke India.
Motif lain Perancis menaklukkan Mesir, adalah politik ekonomi terkait
dengan pemasaran dan penyediaan bahan-bahan baku dan menjadikan pusat
kegiatan pendistribusian hasil industrinya ke Wilayah Timur Tengah,
serta keinginan yang kuat ekspedisi Napoleon Bonaparte untuk
mengikuti jejak Alexander the
Great
dari Macedonia yang pernah menguasai Eropa, Asia sampai dengan
India.1
Status
perempuan di dunia Islam dijadikan subjek studi dan mengundang
perdebatan, serta memprofokasi polemik dan prasangka yang hampir
tidak dihubungkan dengan kompleksitas realitas. Hal ini setidaknya
dapat diketahui atau didiskusikan sebagai diskursus dan memunculkan
pergerakan yang disebut dengan feminisme Islam. Pergerakan ini muncul
di Amerika, Pakistan, India, Nigeria, Spanyol, Malaysia dan Perancis.
Cakupan kerja mereka berkaitan dengan peruabhan sosial secara
spesifik berhubungan dengan perjuangan melawan sistem patriakhi dan
ketidaksetaraan gender, yang dijadikan sebagai kerangka kerja oleh
feminis muslim, tetapi satu bagian menjadi pergerakan global
berkaitan dengan hak-hak perempuan. Meskipun demikian, ada konsesus
bahwa pendidikan menjadi kunci utama sebagai upaya pemberdayaan
perempuan dan kajian tentang hak-hak perempuan merujuk pada sumber
utamanya, yaitu teks suci al-Qur`an.2
Kajian
pergerakan perempuan di Mesir dimulai tahun 1919 ditandai dengan
munculnya aktifitas feminis yang tergabung dengan The
Egyptian Feminist Union
(EFU) dipimpin oleh Huda Sha’rawi. Fokus perjuangnnya adalah
hak-hak politik perempuan, perubahan hukum status perseorangan yang
mencakup pengendalian perceraian, poligami, persamaan akses
pendidikan baik di tingkat lanjutan maupun perguruan tinggi, dan
berbagai pengembangan tentang kesempatan profesional bagi perempuan.3
Awal
perjuangan pergerakan perempuan perempuan dalam pengembangan
intelektual dan prinsip-prinsip ideologinya hampir diilhami oleh
reformer modernis laki-laki seperti Muhammad Abduh, Jamaluddin
al-Afghani, dan yang paling luar biasa adalah Qosim Amin yang pada
saat tahun 1919 berkaitan dengan perlawanan Inggris dan masa
keberlangsungan dan perluasan berbagai aktivitas perempuan. Disamping
itu beebrapa kontribusi perempuan dalam publikasi jurnal sebagaimana
mainstream pers yang memunculkan debat tentang isu-isu sosial seperti
pendidikan, peran perempuan dalam kelaurga, dan hak-hak perempuan.4
Sementara
itu periode 1945-1959 muncul organisasi perempuan, yaitu Bint el-Nile
(Daughter
of the Nile) yang dipimpin oleh Doria Shafik. Pergerakan ini sebagai
suatu yang baru dan menyegarkan gerakan feminis, bertujuan untuk
memproklamirkan hak-hak politik secara penuh bagi perempuan. Kegiatan
ini juga mempromosikan berbagai programnya, berkampanye perbaikan
budaya, perbaikan kesehatan dan pelayanan sosial bagi masyarakat
miskin, mempertinggi pelayanan ibu, dan perawatan anak (childcare).
Proses reformasi sosial ini oleh para feminis seperti Inji Aflatoun,
Soraya Adham, dan Latifa Zayyad diadopsinya ideologi sosial dengan
memperlihatkan pada perjuangan pembebasan perempuan dan hukum (social
equality and justice).
Namun demikian, pergerakan perempuan mulai menyusut terjadi pada masa
pemerintahan Gamal Abdul Naser (1952-1970) ditandai dengan
pengendalian ruang gerak organisasi perempuan. Pergerakan perempuan
masa Gamal Abdul Naser diindikasikan hampir semua pergerakan
bergantung atau tidak independen sehingga pasang surutnya
pemerintahan berimplikasi terhadap gerakan perjuangan perempuan.5
Perkembangan wacana keagamaan dalam kalangan feminis muslim yang
menonjol adalah pembangunan keluarga dalam perdebatan untuk membentuk
kembali fundamental status muslim pribadi atau hukum keluarga secara
egaliter. Dalam kerangka kerja tersebut, berbagai isu penting yang
menuntut ijtihad atau melakukan reinterpretasi al-Qur`an dan
al-Hadits yang dianggap bias gender.
Isu
Islam dan perempuan berkembang pesat juga karena dipengaruhi beberapa
sarjana muslim seperti Fatimah
Mernissi,
Rifaat
Hasan,
Nawal
el Sadawi,
Asghar
Ali
Engineer
dan Amina
Wadud Muhsin.
Respon terhadap wacana perempuan dalam Islam juga tidak seragam mulai
dari pemikiran yang bercorak konservatif, moderat hingga liberal.
1
Harun
Nasution, Islam
ditinjau dari Berbagai Aspeknya Jilid I,
Jakarta: UI Press, 1985, hlm. 28.
2
Morgot
Badaran, Feminisme
in Islam: Seculer and Religious Convergenees,
England: Oneworld Publication, 2004, hlm. 4.
3
Najde
S. Al-Ali, The
Women Movement in Egypt, hlm. 5.
4
Najde
S. Al-Ali, The
Women Movement in Egypt, hlm. 5.
5
Issa
J. Boullata, Dekonstruksi
Tradisi Gelegar Pemikiran Arab Islam,
Penerj: Imam Khoiri, Yogyakarta: LKIS, 2001, hlm. 174.
0 komentar:
Posting Komentar