Materi : Fiqih
Perspektif Perempuan
Pemateri : Nurul
& K.H. Marzuki
Fiqih adalah
salah satu bidang ilmu dalam syariat Islam yang secara khusus membahas
persoalan hukum yang mengatur berbagai aspek kehidupan manusia, baik kehidupan
pribadi, bermasyarakat maupun kehidupan manusia dengan Tuhannya.
Gambar : Jurnal
Ilmiah Kajian Gender Vol. V No. 1 Tahun 2015
Dari gambar di
atas hanya terlihat bahwa hanya ranting kecil saja yang di permasalahkan
sebagai bias gender, tetapi pada wilayah fiqh yang lebih luas tidak ada
permasalahan bias gender. Bahkan pada wilayah fiqh ekonomi dan muamalat tidak
terjadi bias gender padahal wilayah ekonomi merupakan wilayah superior
laki-laki. Pendapat yang menjadi landasan kaum “feminis” yang berorientasi
kepada keadilan gender berlandaskan kepada Fiqh perkawinan Islam yang di anggap
tidak berkeadilan. Kemudian hal ini digeneralkan pada wilayah fiqh yang lebih
luas. Tesis ini secara otomatis gugur karena Islam secara terminologi merupakan
wilayah fiqh yang berbeda dan memiliki corak ijtihad dan metode penemuan hukum
yang memiliki karakter berbeda.
Misalnya fiqh
ibadah lebih kepada kehati-hatian (ihtiyath) kepada setiap ibadah yang tidak
dilakukan Nabi Muhammad adalah dilarang. Berbeda dengan fiqh tentang makanan
bahwa semua dihalalkan kecuali yang dilarang. Demikian juga halnya pada fiqh
mu‟amalah larangan lebih kepada adanya indikasi riba sedangkan kebolehan lebih
kepada melakukan akad, sedangkan larangan fiqh perkawinan lebih kepada nasab
yang baik bukan kepada hak tetapi kepada berkelanjutan regenerasi yang kuat,
beriman, sehat. Berdasarkan teori ini jelas perkawinan adalah lebih kepada
membangun keluarga yang bermartabat. Apa yang diagendakan oleh kaum feminis
Islam yang memiliki sudut pandang fiqh patriarhki sebagai sumber dari kebencian
dan penindasan bagi kaum perempuan dalam wilayah fiqh juga sangat lemah (Budhy
Munawar Rachman, tt :394). Yang menjadi dalil kaum feminis adalah
ketidakadilan, tanggung jawab perempuan dan laki-laki dalam rumah tangga,
terasa laki-laki lebih superior dari kaum perempuan. Pandangan seperti ini
justru bagi kaum feminis sudah menempatkan pendapat fiqh sesuatu yang final.
Kemajuan yang dicapai perempuan pada masa sekarang secara nyata menolak
mutlaknya superioritas laki-laki. Sebab Fiqh harus dipandang sebagai pendapat
sosiologis dan kontekstual.
Posisi
perempuan berada di bawah kendali laki-laki bukan hal yang salah apabila secara
sosiologis menghendaki demikian, Nabi Muhammad saw. ketika menikah dengan Siti
Khadijah secara sosiologis dan phsikologis berimbang, Siti Khadijah
mengendalikan perekonomian keluarga dan memberikan saran-saran kepada Nabi Muhammad
saw. dalam menjalankan kerasulannya. Begitu juga kepada Siti „Aisyah berperan
dalam membantu nabi dalam wilayah politik, perseteruan kaum muslim dan kaum non
muslim. Apabila memahami fiqh sebagai ijtihad tidak lepas dari kepentingan
sosiologis. Ketika fiqh diciptakan maka fiqh bukan hal yang stagnan, tetapi
wilayah yang berkembang, relatifitas dalam fiqh tetap berlaku. Artinya, bahwa
fiqh dapat berubah berdasarkan waktu, zaman, psikologis, tempat, budaya, bahkan
perkembangan sains dan teknologi. Sebagaimana dipaparkan dalam qaedah fiqh:
“Berubah dan berbedanya fatwa sesuai dengan perubahan tempat, masa, perubahan
sosial, niat dan adat kebiasaan, (Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, 1968). Karena itu
pemahaman fiqh dengan paradigma seperti ini bukan terbatas pada hubungan
laki-laki perempuan dalam ruang domestik (suami-isteri), tetapi juga berlaku
untuk semua masalah hubungan kemanusiaan yang lebih luas atau persoalan
partikular lainnya yang terkait dengan dinamika sosial dan budaya (KH. Husein
Muhammad, tt. :22).
Sumber : Hulwati / Kafa‟ah : Jurnal Ilmiah Kajian Gender Vol. V
No. 1 Tahun 2015
0 komentar:
Posting Komentar