Rabu, 10 Mei 2017

Fiqih Perspektif Perempuan

Materi              : Fiqih Perspektif Perempuan
Pemateri          : Nurul & K.H. Marzuki

Fiqih adalah salah satu bidang ilmu dalam syariat Islam yang secara khusus membahas persoalan hukum yang mengatur berbagai aspek kehidupan manusia, baik kehidupan pribadi, bermasyarakat maupun kehidupan manusia dengan Tuhannya.

Gambar : Jurnal Ilmiah Kajian Gender Vol. V No. 1 Tahun 2015

Dari gambar di atas hanya terlihat bahwa hanya ranting kecil saja yang di permasalahkan sebagai bias gender, tetapi pada wilayah fiqh yang lebih luas tidak ada permasalahan bias gender. Bahkan pada wilayah fiqh ekonomi dan muamalat tidak terjadi bias gender padahal wilayah ekonomi merupakan wilayah superior laki-laki. Pendapat yang menjadi landasan kaum “feminis” yang berorientasi kepada keadilan gender berlandaskan kepada Fiqh perkawinan Islam yang di anggap tidak berkeadilan. Kemudian hal ini digeneralkan pada wilayah fiqh yang lebih luas. Tesis ini secara otomatis gugur karena Islam secara terminologi merupakan wilayah fiqh yang berbeda dan memiliki corak ijtihad dan metode penemuan hukum yang memiliki karakter berbeda.
Misalnya fiqh ibadah lebih kepada kehati-hatian (ihtiyath) kepada setiap ibadah yang tidak dilakukan Nabi Muhammad adalah dilarang. Berbeda dengan fiqh tentang makanan bahwa semua dihalalkan kecuali yang dilarang. Demikian juga halnya pada fiqh mu‟amalah larangan lebih kepada adanya indikasi riba sedangkan kebolehan lebih kepada melakukan akad, sedangkan larangan fiqh perkawinan lebih kepada nasab yang baik bukan kepada hak tetapi kepada berkelanjutan regenerasi yang kuat, beriman, sehat. Berdasarkan teori ini jelas perkawinan adalah lebih kepada membangun keluarga yang bermartabat. Apa yang diagendakan oleh kaum feminis Islam yang memiliki sudut pandang fiqh patriarhki sebagai sumber dari kebencian dan penindasan bagi kaum perempuan dalam wilayah fiqh juga sangat lemah (Budhy Munawar Rachman, tt :394). Yang menjadi dalil kaum feminis adalah ketidakadilan, tanggung jawab perempuan dan laki-laki dalam rumah tangga, terasa laki-laki lebih superior dari kaum perempuan. Pandangan seperti ini justru bagi kaum feminis sudah menempatkan pendapat fiqh sesuatu yang final. Kemajuan yang dicapai perempuan pada masa sekarang secara nyata menolak mutlaknya superioritas laki-laki. Sebab Fiqh harus dipandang sebagai pendapat sosiologis dan kontekstual.
Posisi perempuan berada di bawah kendali laki-laki bukan hal yang salah apabila secara sosiologis menghendaki demikian, Nabi Muhammad saw. ketika menikah dengan Siti Khadijah secara sosiologis dan phsikologis berimbang, Siti Khadijah mengendalikan perekonomian keluarga dan memberikan saran-saran kepada Nabi Muhammad saw. dalam menjalankan kerasulannya. Begitu juga kepada Siti „Aisyah berperan dalam membantu nabi dalam wilayah politik, perseteruan kaum muslim dan kaum non muslim. Apabila memahami fiqh sebagai ijtihad tidak lepas dari kepentingan sosiologis. Ketika fiqh diciptakan maka fiqh bukan hal yang stagnan, tetapi wilayah yang berkembang, relatifitas dalam fiqh tetap berlaku. Artinya, bahwa fiqh dapat berubah berdasarkan waktu, zaman, psikologis, tempat, budaya, bahkan perkembangan sains dan teknologi. Sebagaimana dipaparkan dalam qaedah fiqh: “Berubah dan berbedanya fatwa sesuai dengan perubahan tempat, masa, perubahan sosial, niat dan adat kebiasaan, (Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, 1968). Karena itu pemahaman fiqh dengan paradigma seperti ini bukan terbatas pada hubungan laki-laki perempuan dalam ruang domestik (suami-isteri), tetapi juga berlaku untuk semua masalah hubungan kemanusiaan yang lebih luas atau persoalan partikular lainnya yang terkait dengan dinamika sosial dan budaya (KH. Husein Muhammad, tt. :22).


Sumber : Hulwati / Kafa‟ah : Jurnal Ilmiah Kajian Gender Vol. V No. 1 Tahun 2015

0 komentar:

Posting Komentar

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com