Globalisasi dan kemajuan tekhnologi informasi telah
menjadikan wilayah kedaulatan suatu negara menjadi lebih abstrak, sehingga
mudah ditembus oleh para pelaku atau aktor internasional. Karena itu, kerawanan
penetrasi asing terhadap wilayah yurisdiksi nasional yang melampaui batas
kedaulatan negara, hampir dipastikan mengandung resiko ancaman keamanan yang
bersifat transnasional, antara lain seperti kejahatan lintas negara, masalah kerusakan
lingkungan, imigrasi gelap, pembajakan dan perompakan di laut, penangkapan ikan
illegal, terorisme internasional, penyelundupan senjata maupun perdagangan
anak-anak dan perempuan. Dan kondisi ini membuat negara-negara maju lebih mudah
mengakses dan masuk ke negara-negara berkembang, seperti Indonesia. Indonesia
termasuk negara miskin yang kemudian di eufinisme-kan menjadi negara
berkembang. Dengan luas dan letak yang strategis membuat negara-negara maju
merauk keuntungan yang sebesar-besarnya dinegeri ini dengan cara meminjam uang
ke negara-negara maju dan dengan penamaan modal asing, didukung oleh
pilar-pilar badan dunia seperti World Bank, IMF, WTO, dan perusahaan-perusahaan
transnasional lainnya.
Dalam konteks ekonomi politik kekinian, perempuan masih
menjadi barang laku pemapanan kapitalisme. Hegemoni kapital yang dilancarkan
melalui iklan-iklan komersil membuat penindasan secara terselubung terhadap
perempuan semakin sukses.
Dalam tatanan geo-politik ruang-ruang regional-nasional
kembali direbut oleh kapitalisme. Disadari atau tidak, ruang sebagai bagian
dari wilayah kekuasaan turut mempengaruhi ruang gerak bangsa dan negara. Dengan
alasan demikian, dapat dipahami jika ada pencaplokan batas wilayah NKRI oleh
negara asing sama halnya dengan menginjak-injak nasionalisme. Semakin besar
wilayah, semakin besar ruang gerak.
Akan tetapi, fenomena tersebut terbantahkan ketika
kepentingan global merangsek masuk melalui jalur media informasi dan
komunikasi. Globalisasi yang membiaskan geografis bangsa, semakin membuat
kelompok dominan bergerak bebas melancarkan kepentingannya. Semakin banyak gaya
hidup yang ditawarkan oleh globalisasi ekonomi, informasi dan kebudayaan disatu
pihak telah membuka cakrawala yang tak terbatas dan kreatif bagi setiap
individu untuk menentukan pilihan dan seleranya; namun dipihak lain telah
menggiring masyarakat kontemporer kita ke arah krisis identitas, krisis
kebudayaan bahkan krisis kepercayaan.[1]
Dalam hal ini seketat apapun pertahanan keamanan di tapal batas negara tak
berarti apa-apa jika kaum pemodal sebagai pengendali kekuatan ekonomi mampu
mengendalikan media. Dalam hal inilah pertarungan ruang kosong terjadi antara
nasionalisme dengan hegemoni global.
[1] Nursayyid Santoso Kristeva, M.A,
Manifesto Wacana Kiri, Yogyakarta: INPHISOS, 2010,
hlm. 115. Selanjutnya
disebut dengan Nursayyid Santoso Kristeva, M.A, Manifesto Wacana
Kiri.
0 komentar:
Posting Komentar