Senin, 04 September 2017

Situasi Global


Globalisasi dan kemajuan tekhnologi informasi telah menjadikan wilayah kedaulatan suatu negara menjadi lebih abstrak, sehingga mudah ditembus oleh para pelaku atau aktor internasional. Karena itu, kerawanan penetrasi asing terhadap wilayah yurisdiksi nasional yang melampaui batas kedaulatan negara, hampir dipastikan mengandung resiko ancaman keamanan yang bersifat transnasional, antara lain seperti kejahatan lintas negara, masalah kerusakan lingkungan, imigrasi gelap, pembajakan dan perompakan di laut, penangkapan ikan illegal, terorisme internasional, penyelundupan senjata maupun perdagangan anak-anak dan perempuan. Dan kondisi ini membuat negara-negara maju lebih mudah mengakses dan masuk ke negara-negara berkembang, seperti Indonesia. Indonesia termasuk negara miskin yang kemudian di eufinisme-kan menjadi negara berkembang. Dengan luas dan letak yang strategis membuat negara-negara maju merauk keuntungan yang sebesar-besarnya dinegeri ini dengan cara meminjam uang ke negara-negara maju dan dengan penamaan modal asing, didukung oleh pilar-pilar badan dunia seperti World Bank, IMF, WTO, dan perusahaan-perusahaan transnasional lainnya.
Dalam konteks ekonomi politik kekinian, perempuan masih menjadi barang laku pemapanan kapitalisme. Hegemoni kapital yang dilancarkan melalui iklan-iklan komersil membuat penindasan secara terselubung terhadap perempuan semakin sukses.
Dalam tatanan geo-politik ruang-ruang regional-nasional kembali direbut oleh kapitalisme. Disadari atau tidak, ruang sebagai bagian dari wilayah kekuasaan turut mempengaruhi ruang gerak bangsa dan negara. Dengan alasan demikian, dapat dipahami jika ada pencaplokan batas wilayah NKRI oleh negara asing sama halnya dengan menginjak-injak nasionalisme. Semakin besar wilayah, semakin besar ruang gerak.
Akan tetapi, fenomena tersebut terbantahkan ketika kepentingan global merangsek masuk melalui jalur media informasi dan komunikasi. Globalisasi yang membiaskan geografis bangsa, semakin membuat kelompok dominan bergerak bebas melancarkan kepentingannya. Semakin banyak gaya hidup yang ditawarkan oleh globalisasi ekonomi, informasi dan kebudayaan disatu pihak telah membuka cakrawala yang tak terbatas dan kreatif bagi setiap individu untuk menentukan pilihan dan seleranya; namun dipihak lain telah menggiring masyarakat kontemporer kita ke arah krisis identitas, krisis kebudayaan bahkan krisis kepercayaan.[1] Dalam hal ini seketat apapun pertahanan keamanan di tapal batas negara tak berarti apa-apa jika kaum pemodal sebagai pengendali kekuatan ekonomi mampu mengendalikan media. Dalam hal inilah pertarungan ruang kosong terjadi antara nasionalisme dengan hegemoni global.



[1][1] Yasraf Amir Piliang, Dunia yang Dilipat, Yogyakarta: Jalasutra, 2006, hlm. 311.
[1] Nursayyid Santoso Kristeva, M.A, Manifesto Wacana Kiri, Yogyakarta: INPHISOS, 2010,
hlm. 115. Selanjutnya disebut dengan Nursayyid Santoso Kristeva, M.A, Manifesto Wacana
Kiri.

0 komentar:

Posting Komentar

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com