Indonesia adalah bagian dari dunia internasional yang
saat ini tengah berada dalam krisis imperialisme berkepanjangan. Indonesia
adalah negara yang luas dengan posisi strategis, kaya akan sumber daya alam,
berlimpah sumber daya manusia, iklim tropis dan subur. Indonesia, sejak jaman
orde baru telah berada dalam genggaman imperialisme AS dengan rezim boneka
pertamanya, the smiling general Soeharto.
Presiden Joko Widodo sebagaimana presiden-presiden
sebelumnya terus konsisten menjalankan skema kebijakan neoliberal di dalam
negeri dan mendukung pelaksanaan kebijakan neoliberal ini sebagai politik luar
negerinya.Sebagai presiden ke tujuh, rakyat Indonesia sudah sangat lelah terus
berada dalam situasi ekonomi yang terus menurunkan kualitas hidup dan
mengharapkan perubahan pada sosok Joko Widodo.Namun, harapan ini tak kunjung
memperlihatkan titik terang.
Ditengah euforia kemenangan Joko Widodo, tim ahlinya
tengah sibuk mendiskusikan dan mengkaji mengenai kenaikan harga Bahan Bakar
Minyak (BBM). Hal ini merupakan bukti pertama yang menunjukkan sikap dan
politik Joko Widodo yang menghamba pada kepentingan dan dominasi neokolonialis
AS di Indonesia. Joko Widodo dengan alasan menyelamatkan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN) menyatakan bahwa harus ada pemangkasan subsidi untuk
sektor energi agar dana hasil pemangkasan subsidi tersebut dapat digunakan
untuk sektor produktif. Menaikkan harga BBM ini dilakukan oleh Joko Widodo
ditengah dia belum melakukan apa pun untuk rakyat Indonesia.
Kemudian ketahui
oleh publik bahwa tidak hanya sekedar melakukan pemangkasan subsidi dengan
sebutan memberikan “subsidi tetap”, namun kebijakan di sektor energi telah di
liberalisasi dan sepenuhnya dikontrol oleh pasar. Itulah
sebabnya tidak akan ada stabilitas harga BBM di dalam negeri, akan sangat
dipengaruhi oleh harga minyak dunia dan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
Kenaikan harga BBM
selalu membawa efek domino pada mahalnya harga-harga lainnya, utamanya harga
kebutuhan pokok.Kebutuhan pokok rakyat dalam bentuk sandang, pangan dan papan
–pakaian, makanan dan perumahan- semakin jauh dari jangkauan.Kemudian Joko
Widodo menurunkan kembali harga BBM karena harga minyak dunia yang juga turun,
namun penurunan harga BBM ini tidak pernah mampu menurunkan kembali harga-harga
lain yang telah naik.
Untuk bidang pendidikan, telah lama liberalisasi dan
privatisasi dijalankan.Hasilnya sudah sangat terasa untuk saat ini.Biaya
pendidikan utamanya pendidikan tinggi semakin mahal. Komersialisasi lembaga
pendidikan yang dimiliki oleh negara pun meraja lela, hingga mampu mengalahkan
mahalnya biaya pendidikan yang diselenggarakan oleh swasta.Mahalnya biaya
pendidikan, tidak tersedianya lembaga pendidikan yang merata dan absennya
negara untuk memberikan hak pendidikan kepada warga negaranya telah
mengakibatkan akses perempuan terhadap pendidikan semakin dikebiri.Ditambah
pula dengan pandangan bahwa perempuan bertanggung jawab utamanya untuk mengurus
rumah tangga, maka perempuan tidak menjadi prioritas untuk mendapatkan
pendidikan yang mahal tersebut. Menurut data Kementrian Pemberdayaan Perempuan
dan Anak, akses perempuan terhadap jauh lebih rendah dibandingkan laki-laki,
jumlah buta huruf pada usia 15-45 tahun lebih tinggi perempuan 2-3 kali
dibandingkan laki-laki. Sementara, dari 10 tingkat tertinggi di setiap jenjang
pendidikan, ternyata 60-70% nya adalah perempuan.
Untuk bidang pelayanan kesehatan, negara telah
membuat sistem asuransi kesehatan atau lebih dikenal dengan Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, dimana masyarakat diminta untuk mendaftarkan
diri pada program ini dan membayar premi setiap bulan. Rakyat tentu saja
mengambil semua kesempatan yang ada, karena paham tidak akan mampu membayar
biaya pengobatan secara langsung. Diskursus yang tengah berkembang di
pemerintahan saat ini adalah rencana untuk menaikkan iuran/premi asuransi
tersebut dengan alasan asuransi ini mengalami kerugian.
Pelayanan kesehatan
yang mahal, tidak tersedia dalam jumlah yang cukup dan sulit untuk diakses
karena mensyaratkan berbagai dokumen, telah meminggirkan akses perempuan
terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas dan murah. Penyuluhan-penyuluhan
atau pembagian informasi tentang hidup sehat pun sangat minim di dapatkan oleh
perempuan.Secara khusus untuk kesehatan organ reproduksi, pemerintah belum
memberikan perhatian yang sungguh-sungguh.Hal ini mengakibatkan perempuan
terpaksa menahan sakit yang dideritanya tanpa punya kesempatan untuk melakukan
pemeriksaan komprehensif dan kemudian mendapatkan pengobatan yang
baik.Berkembangnya obat-obat kimia tanpa pengawasan yang serius dari pemerintah
serta minimnya perhatian terhadap obat-obatan lokal telah mengakibatkan rakyat
bergantung pada obat-obatan kimia produksi perusahaan besar monopoli.
Kenaikan harga BBM dan tren kenaikan harga-harga
saat ini (beras, gas, listrik, tiket kereta, dll) memukul perempuan dengan
kerasnya.Pengetatan pengeluaran rumah tangga mesti dilakukan, yang artinya
adalah turunnya kualitas hidup keluarga. Bagi perempuan yang masih lajang,
harus melakukan hal yang sama dan apabila bekerja mungkin harus mengurangi
bantuan ekonomi terhadap orang tua. Krisis ekonomi, kehidupan keluarga miskin
telah terbukti menjadi salah satu penyebab maraknya kasus kekerasan terhadap
perempuan dan anak. Telah banyak diberitakan Ibu yang tega membunuh diri dan
anak-anaknya karena sudah tidak sanggup hidup dalam kemiskinan, perempuan yang
menjadi korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), anak-anak yang menjadi
obyek pelampiasan seks, anak-anak jalanan yang hidup keras dan putus sekolah,
perdagangan perempuan dan anak, dan lain-lain. Semua itu merupakan bukti bahwa
kebijakan neoliberal telah sangat menghancurkan kehidupan rakyat.
Kebijakan
neoliberal untuk mendukung kepentingan neokolonialis AS yang dilaksanakan di
dalam negeri terbukti telah mengantarkan perempuan dan rakyat Indonesia ke
jurang kemerosotan, perempuan berada di dalam jurang kemerosotan terdalam
akibat adanya diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan, baik di dalam
sektornya maupun perempuan sebagai gendernya.
Program pembangunan yang diajukan oleh Joko Widodo
tidak berbeda dengan program Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi
Indonesia (MP3EI) yang dicanangkan oleh presiden sebelumnya, SBY. Joko Widodo
menambahkan pada aspek maritim yang seolah merupakan angin segar bagi rakyat
dan nelayan Indonesia, namun kebijakan Jokowi di bidang maritim ini tidak jauh
dari kebijakan di bidang lainnya, sebatas pembangunan infrastruktur skala besar
yang didanai oleh hutang dan merampas tanah rakyat lebih luas lagi, selain
merusak hutan untuk menambah kekurangan tanah.
Sementara di
perkotaan, buruh selalu memperjuangkan upah layak dan tidak pernah
mendapatkannya secara sempurna.Buruh dipaksa bekerja keras dengan upah yang
rendah. Pada masa dewasa ini, perempuan pun telah banyak bekerja sebagai buruh
dan menghadapi persoalan yang sama, upah yang di dapatkan tidak cukup untuk
membiayai keluarganya untuk mendapatkan kehidupan yang layak. Selain itu,
hak-hak buruh perempuan pun jarang sekali di laksanakan, seperti hak cuti haid,
melahirkan dan menyusui, tersedianya ruang khusus untuk memerah air susu ibu, toilet
yang bersih dari kuman, dan layanan kesehatan di pabrik. Tenaga
kerja murah merupakan salah satu hal selain sumber daya alam yang kaya yang
“dijual” oleh Joko Widodo untuk mendapatkan investasi.
Pembangunan industri nasional merupakan aspirasi
rakyat agar tersedia industri nasional yang berorientasi untuk memenuhi
kebutuhan dalam negeri sehingga Indonesia tidak lagi mempergunakan model
produksi untuk ekspor dan substitusi impor, melainkan produksi oleh rakyat
untuk kebutuhan nasional dan mencapai kedaulatan secara ekonomi dan politik.
Persoalan mengenai politik upah murah, larangan berorganisasi dan menyatakan
pendapat serta jaminan pekerjaan pun akan mampu dijawab apabila Indonesia
memiliki industri nasional.
Kaum miskin kota semakin sulit kehidupannya dengan
meroketnya harga kebutuhan pokok dan liberalisasi sektor layanan publik yang
diselenggarakan oleh negara. Hampir tidak ada jaminan akan kehidupan dan
penghidupan yang layak bagi mereka, utamanya bagi perempuan dan anak-anak.
Krisis, kemerosotan ekonomi yang dialami oleh rakyat
Indonesia, perempuan Indonesia, merupakan hasil dari pelaksanaan kebijakan
neoliberal yang dipaksakan oleh neokolonialis pimpinan AS untuk mempertahankan
dominasi dan keberadaannya. Sehingga, perempuan Indonesia harus bangkit dan
berjuang melawan imperialisme dan kebijakan neoliberalnya.
0 komentar:
Posting Komentar