Ketika
masa prakemerdekaan, gerakan perempuan di Indonesia ditandai dengan
munculnya beberapa tokoh perempuan yang rata-rata berasal dari
kalangan atas, seperti: Kartini, Dewi Sartika, Cut Nyak Dien, dan
lain-lain. Mereka berjuang mereaksi kondisi perempuan di
lingkungannya. Perlu dipahami bila model gerakan Dewi Sartika dan
Kartini lebih ke pendidikan dan itu pun baru upaya melek huruf dan
mempersiapkan perempuan sebagai calon ibu yang terampil, karena baru
sebatas itulah yang memungkinkan untuk dilakukan dimasa itu.1
Dengan
kebijakan politik etis pada awal abad ke-20, penguasa kolonial yang
menganggap kaum bumiputera malas, bodoh dan tidak beradab membuka
ruang-ruang pendidikan secara luas dengan harapan rakyat Hindia
Belanda akan menerima peradaban barat dan menjadi bagian kerajaan
Belanda dengan sukarela. Kesempatan ini langsung dimanfaatkan oleh
kaum bumiputera yang menganggap kemajuan sebagai tumbuhnya gairah
untuk berfikir merdeka, meninggalkan kepatuhan kepada penguasa
kolonial dan terlibat kerja-kerja melawan pembodohan, diskriminasi
dan segala bentuk ketidakadilan.
Gagasan
kemajuan kaum bumiputera terpelajar yang masih bisa dikatakan
sedikit, berpengaruh terhadap pandangan mereka tentang perempuan.
Mereka tetap melihat peran utama perempuan adalah melahirkan dan
merawat anak, tetapi kepedulian mereka akan perlunya satu generasi
baru dengan kualitas moral dan intelektual yang lebih baik membuat
mereka berfikir tentang pentingnya pendidikan bagi kaum perempuan
sebagai ibu. Sementara kaum perempuan terdidik melihat bahwa sistem
kolonialisme dan tradisi feodal sudah menyebabkan kehidupan perempuan
secara umum terpuruk.
Di
penghujung abad ke-19, ketika Kartini menulis tentang
ketertindasannya sebagai perempuan jawa. Ia menyadari bahwa
pembebasan perempuan bisa terwujud bila terjadi perubahan pola pikir
di kalangan masyarakat secara keseluruhan. Memperjuangkan kesetaraan
bagi perempuan adalah kerja pemberadaban suatu bangsa dan bukan
semata-mata tugas perempuan.
Emansipasi
perempuan Indonesia merupakan gerak social yang jadi penunjang dan
sekaligus bagian yang ikut menentukan dalam periode kebangkitan
nasional pada sekitar awal abad 20. Ia bukan terbatas pada usaha
mendapatkan hak-hak sederajat dengan pria sebagaimana terjadi di
Eropa pada kurun yang hampir bersamaan. Ia lebih banyak merupakan
gerakan untuk mendapatkan faal social lebih banyak daripada yang
selama itu dimungkinkan oleh system keluarga yang berlaku.2
Semangat
inilah yang mendorong perempuan-perempuan terdidik di beberapa tempat
menyelenggarakan sekolah-sekolah bagi perempuan. Pada tanggal 16
Januari 1904 sekolah perempuan pertama Sekolah Istri didirikan oleh
Dewi Sartika. Delapan tahun kemudian berubah nama menjadi Sekolah
Kautamaan Istri dan meluas menjadi 9 sekolah yang memberi perhatian
terbesar pada anak-anak perempuan dari kalangan biasa. Di Kotogadang,
Roehana Koeddoes mendirikan Sekolah Kerajinan Amai Setia pada tahun
1911; dan di Manado Maria Walanda Maramis mendirikan sekolah PIKAT
(Percintaan Ibu Kepada Anak Keturunannya) pada 1917. Sementara itu
ide Kartini dilanjutkan oleh C. Th. Van Deventer beserta istrinya
dengan mendirikan Sekolah Kartini pada 1913 di Semarang. R.A
Kartini adalah tokoh emansipasi perempuan Indonesia pertama.
Khususnya karena pada sekitar pergantian abad, barang 15 tahun
sebelum terbit suntingan Abendanon Door
Duisternis tot Licht,
telah berkali-kali mengumumkan tulisan dalam beberapa berkala
Belanda. Dengan faal social baru itu teoritis ia telah meninggalkan
kedudukannya dalam system keluarga ningrat, golongan atas pribumi
pada masanya.3
Perlu
ditekankan sebutan system keluarga ningrat, karena dalam system ini
perempuan tidak ikut berproduksi untuk kehidupan social, maka juga
sangat sedikit hak-hak pribadinya. Jadi system ini berbeda dari
system keluarga golongan bawahan jawa yang menganut parentalisme,
dimana pria dan perempuan sama-sama berproduksi di sawah, ladang,
pasar, dalam lingkungan rumah; hak antara pria dan perempuan sama,
maka juga tidak ada poligami, sejauh mereka tidak keluar dari
sistemnya.4
Di
kalangan organisasi Islam seperti Muhammadiyah, pada tahun 1917 di
Yogyakarta membentuk Aisyiyah yang menyelenggarakan sekolah
berkurikulum modern bagi anak-anak perempuan dengan tekanan
pendidikan agama. Sedangkan di Padang Panjang, Rahma El-Joenoesia,
pada tahun 1922, mendirikan pesantren perempuan yang diberi nama
Dinijah Poetri.
Dukungan
dari para lelaki yang aktif dalam pergerakan nasional menjadi
penting, terutama menghadapi tantangan dari kalangan konservatif di
kalangan bumiputera yang tidak melihat perlunya perempuan berkumpul,
bertukar pikiran, menyatakan pendapat dan bekerja untuk masyarakat.
Disamping itu juga perempuan membutuhkan bantuan dari laki-laki untuk
mengenali dan memanfaatkan perangkat kerja modern, seperti
organisasi, penerbitan dan pertemuan umum. Poetri Mardika didirikan
di Jakarta pada tahun 1912, di dorong oleh Boedi Oetomo. Sementara
surat kabar perempuan pertama, Poetri Hindia, yang diterbitkan oleh
junalis R.M. Tirtho Adhi Soeryo di Bandung pada tahun 1909, masih
dipimpin dan diawaki oleh laki-laki. Baru tiga tahun kemudian,
Roehanna Koeddoes menerbitkan Soenting Melajoe (Bukittinggi) yang
sepenuhnya dikelola oleh perempuan. Dalam waktu kurang lebih 15 tahun
organisasi-organisasi lainpun berdiri di berbagai kota dengan
kegiatan, antara lain: menyelenggarakan pendidikan dan layanan
kesejahteraan sosial bagi perempuan, memberi beasiswa kepada
anak-anak perempuan berbakat, menyebarkan informasi tentang
pendidikan, dan menerbitkan surat kabar mingguan untuk
menyebarluaskan gagasan tentang kemajuan dan keadaban perempuan.
Kongres
Perempuan Indonesia I di Jakarta 1928 dan II di Yogyakarta 1935
berulangkali menekankan pandangan tentang pentingnya keutuhan rumah
tangga dengan perkawinan yang bahagia. Persoalan sosial seperti
perdagangan perempuan, prostitusi, pergundikan, atau kawin paksa
diperbincangkan dalam kerangka pentingnya membangun institusi
perkawinan dan kerumahtanggaan yang sehat dan kuat demi kemajuan dan
keadaban bangsa. Selanjutnya masalah poligami ini menjadi sumber
perdebatan sepanjang sejarah gerakan perempuan, apakah poligami
sesungguhnya sumber masalah atau bagian dari penyelesaian masalah
bagi perempuan? Hal ini mendorong Kongres Perempuan Indonesia II
membentuk Komisi Penyelidik Hukum Perkawinan dibawah pimpinan ahli
hukum Maria Ulfah Santoso yang hasilnya disampaikan pada Kongres
Perempuan III. Kesimpulannya adalah bahwa pada akhirnya masyarakat
Indonesia akan sepakat bahwa poligami harus dihapuskan. Dari
perdebatan tentang poligami dapat dipelajari bahwa soal pelembagaan
perkawinan dan posisi perempuan didalamnya menjadi masalah politik
kebangsaan. Organisasi-organisasi perempuan bukannya tidak menyadari
sisi politis dari perjuangan mereka. Namun, kepelikan yang mereka
alami saat berhadapan dengan adat dan agama membuat mereka memilih
jalur-jalur aman dalam memperjuangkan kebutuhan dan hak-hak
perempuan. Tuduhan dari kalangan Islam bahwa kaum nasionalis sudah
berniat meghinakan Islam dan mencerai beraikan Rakyat Indonesia
dengan membicarakan poligami membuat kongres-kongres perempuan dimasa
sebelum kemerdekaan tidak berbicara tentang agama dan politik.5
Pada Kongres Perempuan Indonesia III di Bandung, tepatnya pada
tanggal 22 Desember 1938, yang kemudian ditetapkan sebagai hari ibu,
muncullah semboyan “Merdeka Melaksanakan Dharma”, yakni
menekankan pentingnya tugas perempuan sebagai ibu keluarga, ibu
masyarakat dan ibu bangsa.
Pada
masa pendudukan Jepang di Indonesia tahun 1942, semua organisasi
perempuan dilarang kecuali Fujinkai yang merupakan organisasi
bentukan Jepang untuk para istri pegawai pemerintah dan sebagai wadah
memobilisir dukungan demi kepentingan fasisme Jepang. Salah satu
kegiatan dari Fujinkai ini adalah pemberantasan buta huruf.
Soekarno
pun turut ambil andil dalam pergerakan perempuan masa itu dengan
menganggap soal perempuan adalah soal yang amat penting, soal
perempuan adalah soal masyarakat. Pasca proklamir kemerdekaan
Soekarno mengadakan kursus-kursus terhadap para perempuan republic
dan kemudian dia tuliskan dengan judul buku Sarinah.
Menurut
Soekarno melihat keadaan perempuan saat itu mengatakan dalam bukunya
bahwa kita bangsa Indonesia, kita terbelakang didalam banyak urusan
kemajuan. Kita didalam urusan posisi perempuan pun terbelakang,
tetapi keterbelakangan ini bermanfaat, kita dapat melihat dari
keadaan kaum perempuan di negeri-negeri yang lain, bagaimana soal
perempuan harus kita pecahkan.6
Pada
masa orde lama ini, akses perempuan untuk berorganisasi sangat kuat,
karena ada keinginan dari Soekarno agar perempuan berbareng bergerak
mempertahankan kemerdekaan, dan perempuan pada saat itu ikut membantu
mempertahankan kemerdekaan dan turut membebaskan Irian Barat.
Untuk
mempermudah mempelajari sejarah gerakan perempuan yang bermunculan di
Indonesia, dapat dilihat pada kolom dibawah ini:
No
|
Periodisasi
|
Aktor
Gerakan
|
Karakter
Gerakan
(Isu
Utama)
|
Gagasan
|
1.
|
1912-1928
|
Putri
Medika
|
Kesetaraan
gender
|
Akses
pendidikan, keadilan peran dalam rumah tangga
|
2.
|
1920
|
Gerakan
Perempuan Mayoritas
|
Peran
aktif dalam wilayah politik
|
Partisipasi
perempuan dalam kancah politik, keterlibatan perempuan dalam
pengambilan keputusan
|
3.
|
1928-1935
|
Perserikatan
Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI)
|
Sosialis-Nasionalis
|
Perlindungan
wanita dan anak-anak dalam perkawinan, mencegah perkawinan
anak-anak, menuntut pendidikan bagi anak-anak. Dan kedudukan
wanita dalam perkawinan
|
4.
|
Pasca
Kemerdekaan (1945-1946)
|
WANI
(Wanita Indonesia) dan KOWANI (Kumpulan dari Beberapa organisasi
perempuan)
|
Perbaikan
nasib perempuan
|
Menuntut
dan mempertahankan keadilan social
|
5.
|
1950-1965
|
GERWIS
|
Peningkatan
pendidikan kaum perempuan
|
Orientasi
pendidikan yang lebih terhadap perempuan dan menyediakan fasilitas
penitipan anak
|
6.
|
1954
|
GERWANI
|
Politik
praktis
|
Partisipasi
perempuan di dalam parlemen, menuntut suara perempuan di parlemen,
pembentukan organisasi perempuan, dan menuntut hukum perkawinan
|
GERWANI
dalam prosesnya mampu menunjukkan eksistensinya dengan sebuah
keberhasilan mampu memobilitasi massa (organisasi-organisasi
perempuan) sekaligus sebagai satu-satunya organisasi perempuan
terbesar waktu itu dengan jumlah anggotanya lebih satu juta massa.
GERWANI mampu menjadi pelopor gerakan perempuan dibidang politik.
Sampai kemudian tibalah masa demokrasi terpimpin (pergantian pucuk
kekuasaan orde lama ke orde baru) yang berimplikasi pada penghancuran
gerakan perempuan, termasuk GERWANI pada tahun 1965 yang ditandai
dengan runtuhnya orde lama.7
1
Modul Kaderisasi dan Gerakan KOPRI Kota Malang, hlm. 4.
2
Pramoedya Ananta Toer, Sang
Pemula, Jakarta:
Hasta Mitra, 1985, hlm. 77. Selanjutnya disebut dengan Pramoedya,
Sang Pemula.
3
Pramoedya, Sang
Pemula, hlm. 77.
4
Pramoedya, Sang
Pemula, hlm. 77.
5
Materi-materi
Konferensi Nasional Perempuan Indonesia, 2014, hlm. 9.
6
Soekarno, Sarinah,
Jakarta: Panitia Penerbit Buku-Buku Karangan Presiden Soekarno,
1963, hlm. 10. Selanjutnya disebut dengan Soekarno, Sarinah.
7
Modul Kaderisasi dan Gerakan KOPRI Kota Malang, hlm. 7.
Casinos Near Me - Lucky Club
BalasHapusFind a list of casinos in Colorado, Washington state luckyclub with live casino and poker games, restaurants, bars and lounges near you. Find a list of casinos in