Minggu, 15 April 2018

Gerakan Perempuan Pra Kemerdekaan dan Orde Lama


Ketika masa prakemerdekaan, gerakan perempuan di Indonesia ditandai dengan munculnya beberapa tokoh perempuan yang rata-rata berasal dari kalangan atas, seperti: Kartini, Dewi Sartika, Cut Nyak Dien, dan lain-lain. Mereka berjuang mereaksi kondisi perempuan di lingkungannya. Perlu dipahami bila model gerakan Dewi Sartika dan Kartini lebih ke pendidikan dan itu pun baru upaya melek huruf dan mempersiapkan perempuan sebagai calon ibu yang terampil, karena baru sebatas itulah yang memungkinkan untuk dilakukan dimasa itu.1
Dengan kebijakan politik etis pada awal abad ke-20, penguasa kolonial yang menganggap kaum bumiputera malas, bodoh dan tidak beradab membuka ruang-ruang pendidikan secara luas dengan harapan rakyat Hindia Belanda akan menerima peradaban barat dan menjadi bagian kerajaan Belanda dengan sukarela. Kesempatan ini langsung dimanfaatkan oleh kaum bumiputera yang menganggap kemajuan sebagai tumbuhnya gairah untuk berfikir merdeka, meninggalkan kepatuhan kepada penguasa kolonial dan terlibat kerja-kerja melawan pembodohan, diskriminasi dan segala bentuk ketidakadilan.
Gagasan kemajuan kaum bumiputera terpelajar yang masih bisa dikatakan sedikit, berpengaruh terhadap pandangan mereka tentang perempuan. Mereka tetap melihat peran utama perempuan adalah melahirkan dan merawat anak, tetapi kepedulian mereka akan perlunya satu generasi baru dengan kualitas moral dan intelektual yang lebih baik membuat mereka berfikir tentang pentingnya pendidikan bagi kaum perempuan sebagai ibu. Sementara kaum perempuan terdidik melihat bahwa sistem kolonialisme dan tradisi feodal sudah menyebabkan kehidupan perempuan secara umum terpuruk.
Di penghujung abad ke-19, ketika Kartini menulis tentang ketertindasannya sebagai perempuan jawa. Ia menyadari bahwa pembebasan perempuan bisa terwujud bila terjadi perubahan pola pikir di kalangan masyarakat secara keseluruhan. Memperjuangkan kesetaraan bagi perempuan adalah kerja pemberadaban suatu bangsa dan bukan semata-mata tugas perempuan.
Emansipasi perempuan Indonesia merupakan gerak social yang jadi penunjang dan sekaligus bagian yang ikut menentukan dalam periode kebangkitan nasional pada sekitar awal abad 20. Ia bukan terbatas pada usaha mendapatkan hak-hak sederajat dengan pria sebagaimana terjadi di Eropa pada kurun yang hampir bersamaan. Ia lebih banyak merupakan gerakan untuk mendapatkan faal social lebih banyak daripada yang selama itu dimungkinkan oleh system keluarga yang berlaku.2
Semangat inilah yang mendorong perempuan-perempuan terdidik di beberapa tempat menyelenggarakan sekolah-sekolah bagi perempuan. Pada tanggal 16 Januari 1904 sekolah perempuan pertama Sekolah Istri didirikan oleh Dewi Sartika. Delapan tahun kemudian berubah nama menjadi Sekolah Kautamaan Istri dan meluas menjadi 9 sekolah yang memberi perhatian terbesar pada anak-anak perempuan dari kalangan biasa. Di Kotogadang, Roehana Koeddoes mendirikan Sekolah Kerajinan Amai Setia pada tahun 1911; dan di Manado Maria Walanda Maramis mendirikan sekolah PIKAT (Percintaan Ibu Kepada Anak Keturunannya) pada 1917. Sementara itu ide Kartini dilanjutkan oleh C. Th. Van Deventer beserta istrinya dengan mendirikan Sekolah Kartini pada 1913 di Semarang. R.A Kartini adalah tokoh emansipasi perempuan Indonesia pertama. Khususnya karena pada sekitar pergantian abad, barang 15 tahun sebelum terbit suntingan Abendanon Door Duisternis tot Licht, telah berkali-kali mengumumkan tulisan dalam beberapa berkala Belanda. Dengan faal social baru itu teoritis ia telah meninggalkan kedudukannya dalam system keluarga ningrat, golongan atas pribumi pada masanya.3
Perlu ditekankan sebutan system keluarga ningrat, karena dalam system ini perempuan tidak ikut berproduksi untuk kehidupan social, maka juga sangat sedikit hak-hak pribadinya. Jadi system ini berbeda dari system keluarga golongan bawahan jawa yang menganut parentalisme, dimana pria dan perempuan sama-sama berproduksi di sawah, ladang, pasar, dalam lingkungan rumah; hak antara pria dan perempuan sama, maka juga tidak ada poligami, sejauh mereka tidak keluar dari sistemnya.4
Di kalangan organisasi Islam seperti Muhammadiyah, pada tahun 1917 di Yogyakarta membentuk Aisyiyah yang menyelenggarakan sekolah berkurikulum modern bagi anak-anak perempuan dengan tekanan pendidikan agama. Sedangkan di Padang Panjang, Rahma El-Joenoesia, pada tahun 1922, mendirikan pesantren perempuan yang diberi nama Dinijah Poetri.
Dukungan dari para lelaki yang aktif dalam pergerakan nasional menjadi penting, terutama menghadapi tantangan dari kalangan konservatif di kalangan bumiputera yang tidak melihat perlunya perempuan berkumpul, bertukar pikiran, menyatakan pendapat dan bekerja untuk masyarakat. Disamping itu juga perempuan membutuhkan bantuan dari laki-laki untuk mengenali dan memanfaatkan perangkat kerja modern, seperti organisasi, penerbitan dan pertemuan umum. Poetri Mardika didirikan di Jakarta pada tahun 1912, di dorong oleh Boedi Oetomo. Sementara surat kabar perempuan pertama, Poetri Hindia, yang diterbitkan oleh junalis R.M. Tirtho Adhi Soeryo di Bandung pada tahun 1909, masih dipimpin dan diawaki oleh laki-laki. Baru tiga tahun kemudian, Roehanna Koeddoes menerbitkan Soenting Melajoe (Bukittinggi) yang sepenuhnya dikelola oleh perempuan. Dalam waktu kurang lebih 15 tahun organisasi-organisasi lainpun berdiri di berbagai kota dengan kegiatan, antara lain: menyelenggarakan pendidikan dan layanan kesejahteraan sosial bagi perempuan, memberi beasiswa kepada anak-anak perempuan berbakat, menyebarkan informasi tentang pendidikan, dan menerbitkan surat kabar mingguan untuk menyebarluaskan gagasan tentang kemajuan dan keadaban perempuan.
Kongres Perempuan Indonesia I di Jakarta 1928 dan II di Yogyakarta 1935 berulangkali menekankan pandangan tentang pentingnya keutuhan rumah tangga dengan perkawinan yang bahagia. Persoalan sosial seperti perdagangan perempuan, prostitusi, pergundikan, atau kawin paksa diperbincangkan dalam kerangka pentingnya membangun institusi perkawinan dan kerumahtanggaan yang sehat dan kuat demi kemajuan dan keadaban bangsa. Selanjutnya masalah poligami ini menjadi sumber perdebatan sepanjang sejarah gerakan perempuan, apakah poligami sesungguhnya sumber masalah atau bagian dari penyelesaian masalah bagi perempuan? Hal ini mendorong Kongres Perempuan Indonesia II membentuk Komisi Penyelidik Hukum Perkawinan dibawah pimpinan ahli hukum Maria Ulfah Santoso yang hasilnya disampaikan pada Kongres Perempuan III. Kesimpulannya adalah bahwa pada akhirnya masyarakat Indonesia akan sepakat bahwa poligami harus dihapuskan. Dari perdebatan tentang poligami dapat dipelajari bahwa soal pelembagaan perkawinan dan posisi perempuan didalamnya menjadi masalah politik kebangsaan. Organisasi-organisasi perempuan bukannya tidak menyadari sisi politis dari perjuangan mereka. Namun, kepelikan yang mereka alami saat berhadapan dengan adat dan agama membuat mereka memilih jalur-jalur aman dalam memperjuangkan kebutuhan dan hak-hak perempuan. Tuduhan dari kalangan Islam bahwa kaum nasionalis sudah berniat meghinakan Islam dan mencerai beraikan Rakyat Indonesia dengan membicarakan poligami membuat kongres-kongres perempuan dimasa sebelum kemerdekaan tidak berbicara tentang agama dan politik.5 Pada Kongres Perempuan Indonesia III di Bandung, tepatnya pada tanggal 22 Desember 1938, yang kemudian ditetapkan sebagai hari ibu, muncullah semboyan “Merdeka Melaksanakan Dharma”, yakni menekankan pentingnya tugas perempuan sebagai ibu keluarga, ibu masyarakat dan ibu bangsa.
Pada masa pendudukan Jepang di Indonesia tahun 1942, semua organisasi perempuan dilarang kecuali Fujinkai yang merupakan organisasi bentukan Jepang untuk para istri pegawai pemerintah dan sebagai wadah memobilisir dukungan demi kepentingan fasisme Jepang. Salah satu kegiatan dari Fujinkai ini adalah pemberantasan buta huruf.
Soekarno pun turut ambil andil dalam pergerakan perempuan masa itu dengan menganggap soal perempuan adalah soal yang amat penting, soal perempuan adalah soal masyarakat. Pasca proklamir kemerdekaan Soekarno mengadakan kursus-kursus terhadap para perempuan republic dan kemudian dia tuliskan dengan judul buku Sarinah.
Menurut Soekarno melihat keadaan perempuan saat itu mengatakan dalam bukunya bahwa kita bangsa Indonesia, kita terbelakang didalam banyak urusan kemajuan. Kita didalam urusan posisi perempuan pun terbelakang, tetapi keterbelakangan ini bermanfaat, kita dapat melihat dari keadaan kaum perempuan di negeri-negeri yang lain, bagaimana soal perempuan harus kita pecahkan.6
Pada masa orde lama ini, akses perempuan untuk berorganisasi sangat kuat, karena ada keinginan dari Soekarno agar perempuan berbareng bergerak mempertahankan kemerdekaan, dan perempuan pada saat itu ikut membantu mempertahankan kemerdekaan dan turut membebaskan Irian Barat.
Untuk mempermudah mempelajari sejarah gerakan perempuan yang bermunculan di Indonesia, dapat dilihat pada kolom dibawah ini:
No
Periodisasi
Aktor Gerakan
Karakter Gerakan
(Isu Utama)
Gagasan
1.
1912-1928
Putri Medika
Kesetaraan gender
Akses pendidikan, keadilan peran dalam rumah tangga
2.
1920
Gerakan Perempuan Mayoritas
Peran aktif dalam wilayah politik
Partisipasi perempuan dalam kancah politik, keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan
3.
1928-1935
Perserikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI)
Sosialis-Nasionalis
Perlindungan wanita dan anak-anak dalam perkawinan, mencegah perkawinan anak-anak, menuntut pendidikan bagi anak-anak. Dan kedudukan wanita dalam perkawinan
4.
Pasca Kemerdekaan (1945-1946)
WANI (Wanita Indonesia) dan KOWANI (Kumpulan dari Beberapa organisasi perempuan)
Perbaikan nasib perempuan
Menuntut dan mempertahankan keadilan social
5.
1950-1965
GERWIS
Peningkatan pendidikan kaum perempuan
Orientasi pendidikan yang lebih terhadap perempuan dan menyediakan fasilitas penitipan anak
6.
1954
GERWANI
Politik praktis
Partisipasi perempuan di dalam parlemen, menuntut suara perempuan di parlemen, pembentukan organisasi perempuan, dan menuntut hukum perkawinan



GERWANI dalam prosesnya mampu menunjukkan eksistensinya dengan sebuah keberhasilan mampu memobilitasi massa (organisasi-organisasi perempuan) sekaligus sebagai satu-satunya organisasi perempuan terbesar waktu itu dengan jumlah anggotanya lebih satu juta massa. GERWANI mampu menjadi pelopor gerakan perempuan dibidang politik. Sampai kemudian tibalah masa demokrasi terpimpin (pergantian pucuk kekuasaan orde lama ke orde baru) yang berimplikasi pada penghancuran gerakan perempuan, termasuk GERWANI pada tahun 1965 yang ditandai dengan runtuhnya orde lama.7
1 Modul Kaderisasi dan Gerakan KOPRI Kota Malang, hlm. 4.
2 Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, Jakarta: Hasta Mitra, 1985, hlm. 77. Selanjutnya disebut dengan Pramoedya, Sang Pemula.
3 Pramoedya, Sang Pemula, hlm. 77.
4 Pramoedya, Sang Pemula, hlm. 77.
5 Materi-materi Konferensi Nasional Perempuan Indonesia, 2014, hlm. 9.
6 Soekarno, Sarinah, Jakarta: Panitia Penerbit Buku-Buku Karangan Presiden Soekarno, 1963, hlm. 10. Selanjutnya disebut dengan Soekarno, Sarinah.
7 Modul Kaderisasi dan Gerakan KOPRI Kota Malang, hlm. 7.

1 komentar:

  1. Casinos Near Me - Lucky Club
    Find a list of casinos in Colorado, Washington state luckyclub with live casino and poker games, restaurants, bars and lounges near you. Find a list of casinos in

    BalasHapus

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com